"Tiga Cangkir Teh"
berisi cerita inspiratif, penuh pesan perdamaian dan relevan dibaca di
tengah kisruh politik militer Amerika di Afghanistan belakangan ini.
Buku ini merupakan memior Greg Mortenson, seorang pendaki gunung Himalaya yang berubah menjadi Aktivis sosial, dan ditulis seperti novel oleh wartawan Oliver Relin.
Pada 1993, Mortenson, pendaki dari Montana, Amerika Serikat, terdampar di sebuah desa miskin perbatasan Pakistan-Afghanistan, setelah gagal mencapai puncak K2, salah satu gunung tertinggi Himalaya. Tergerak oleh keramah tamahan penghuni desa, Mortenson berjanji kembali ke desa itu untuk membangun sebuah sekolah.
Selama lebih dari satu dekade kemudian, Mortenson tak hanya membangun satu, tapi 55 sekolah–terutama bagi anak perempuan–di kawasan miskin yang merupakan “kawah candradimuka” Taliban. Lewat organisasi yang kemudian dia dirikan, Central Asia Institute, Mortenson tinggal selama beberapa bulan di negeri jauh itu setiap tahunnya; membangun sekolah satu demi satu.
Buku ini merupakan memior Greg Mortenson, seorang pendaki gunung Himalaya yang berubah menjadi Aktivis sosial, dan ditulis seperti novel oleh wartawan Oliver Relin.
Pada 1993, Mortenson, pendaki dari Montana, Amerika Serikat, terdampar di sebuah desa miskin perbatasan Pakistan-Afghanistan, setelah gagal mencapai puncak K2, salah satu gunung tertinggi Himalaya. Tergerak oleh keramah tamahan penghuni desa, Mortenson berjanji kembali ke desa itu untuk membangun sebuah sekolah.
Selama lebih dari satu dekade kemudian, Mortenson tak hanya membangun satu, tapi 55 sekolah–terutama bagi anak perempuan–di kawasan miskin yang merupakan “kawah candradimuka” Taliban. Lewat organisasi yang kemudian dia dirikan, Central Asia Institute, Mortenson tinggal selama beberapa bulan di negeri jauh itu setiap tahunnya; membangun sekolah satu demi satu.
Mortenson memulai semuanya dengan tekad sederhana dan kesendirian. Dia
bukan orang kaya. Dia berumah di sebuah gudang di Montana, yang karena
kemiskinannya dia ditinggalkan sang pacar. Mortenson juga sempat disekap
beberapa hari oleh sebuah kelompok Muslim, dan sempat terpikir mati.
Namun, keteguhannya memegang janji membuat Mortenson rela menghadapi
semua rintangan.
Memulai hampir tanpa uang sepeserpun, Mortenson memperoleh dana pertama
sekitar US$ 600, yang terkumpul dari penjualan barang-barang bekas oleh
siswa-siswa sekolah menengah di kotanya. Padahal, yang dia butuhkan
sekitar US$ 12,000 untuk satu sekolah di kaki Himalaya. Tapi, kegigihan
dan sikap tulus yang membuat dia belakangan tak kekurangan uang untuk
membangun lebih banyak sekolah. Dana belakangan datang dari berbagai
kelompok Kristen, Yahudi dan Muslim Amerika, termasuk pula dari sebuah
klub lesbian.
Mortenson tahu, kemiskinan merupakan satu faktor utama mengapa Muslim
yang sebenarnya ramah di kawasan itu bisa berubah menjadi radikal. Dan
sekolah yang lebih terbuka, tak hanya mengajarkan agama melainkan
pengetahuan umum, diperlukan untuk menghadapi kesulitan hidup dan cara
memandang dunia dengan lebih optimistik.
Dengan caranya sendiri, Mortenson memenangkan “hati dan pikiran” Muslim
Pakistan-Afghanistan, yang tidak pernah bisa dicapai oleh Pemerintahan
George Bush. Alih-alih mendekatkan dua dunia berbeda, serangan militer
dan demonisasi Muslim yang dilakukan Pemerintahan Bush justru
memunculkan lebih banyak lagi radikalisme.
Kisah sukses Mortenson pada saat yang sama mencerminkan kisah kegagalan
Pemerintahan Amerika dalam memahami Muslim Afghanistan-Pakistan; jika
mereka memang benar ingin memahami, bukannya menguasai dan
mengeksploitasi sumber alamnya.
Persahabatan Mortenson dan Haji Ali, tetua Desa Korphe, menunjukkan
betapa kerjasama antara dua budaya dan agama berbeda bukanlah suatu yang
mustahil sebagaimana difatwakan oleh Samuel Huntington maupun sebagian
ulama Islam, dua kubu yang sama-sama berpikiran sempit serta penuh
curiga.
Sukses Mortenson tak bisa dipisahkan dari sukses kaum Muslim Desa Korphe
dan desa-desa sekitarnya dalam menindas sikap serba curiga pada segala
hal yang berasal dari Barat, dari dunia sekuler. Mereka percaya serta
mempraktekkan bahwa perbedaan agama tidak bisa menghalangi persaudaraan
antar manusia.
“Menjadi adat di sini, kami minum tiga cangkir teh dalam pergaulan,”
kata Haji Ali, ketua Desa Korphe. “Cangkir pertama Anda masih orang
asing, cangkir kedua Anda menjadi teman, dan cangkir ketiga Anda
bergabung menjadi keluarga kami, dan demi keluarga kami siap untuk
melakukan apa saja–termasuk mati.”
“The
first time you share tea with a Balti, you are a stranger. The second
time you take tea, you are an honored guest. The third time you share a
cup of tea, you become family, and for our family, we are prepared to
do anything, even die.” — Haji Ali,Three Cups of Tea, page 150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar